Create Qur'ani Leaders

Create Qur'ani Leaders

Quality Assurance

Quality Assurance

8 Program Unggulan

8 Program Unggulan

Kita Adalah Pemimpin

Kita Adalah Pemimpin

Pembelajar Sejati

SMPIT Insan Mulia Surakarta
Dan tidak ada batas dari proses belajar, seorang pembelajar sejati, memahami benar, bahwa belajar itu tidak ada ujung seperti air yang mengalir, karena memang ilmu itu tidak berbatas seperti laut yang tidak akan pernah kering. Siapapun, kapan, dan dimana saja .

Tidak ada makhluk hidup di dunia ini yang tidak melalui proses belajar. Ingatkah kita, mengapa kita sampai bisa berbicara lancar? bahkan dengan bahasa yang berbeda, misalnya Bahasa Minang bagi orang Minang, jawa, inggris, arab, atau kita bisa berjalan normal? makan dengan normal, tidur dengan normal?.

Pasti berabe jika kita tidak pernah diajari ngomong, pasti kuwalat jika kita tidak diajari berjalan, makan dan bahkan tidur dengan normal? Bisa kita bayangkan apa jadinya kita kalau kita berjalan seperti kambing, atau kita makan seperti ayam, atau kita tidur seperti kelelawar? Hmm ... pasti capek banget. Belajar tentang bahasa ini juga disinggung Allah dalam Alqur'an:

"Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukan kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "bukankah sudah Kukatakan padamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan." (Al baqarah: 31-33)

Jangankan manusia, binatang pun belajar bagaimana menggunakan bahasa "sukunya" masing-masing. Kucing akan berbicara dengan bahasa kucing, dan ayam akan berbicara dengan bahasa ayam. Pernah denger ada binatang yang berbicara dengan bahasa berbeda antar suku? Misalnya ayam berbahasa kucing dan sebaliknya?

Dan binatang pun belajar bagaimana menjalani hidupnya, contoh kecil yang ada di sekitar kita, pernah melihat kucing bermain bersama induknya? Disaat kucing beranjak dewasa, dia akan diajari oleh induknya bagaimana mempertahankan diri dari serangan musuh, mulai dari cara mencakar, mengeong, berlari dan melompat dengan gesit.

Dan tidak ada batas dari proses belajar, seorang pembelajar sejati, memahami benar, bahwa belajar itu tidak ada ujung seperti air yang mengalir, karena memang ilmu itu tidak berbatas seperti laut yang tidak akan pernah kering. Siapapun, kapan, dan dimana saja.

Sekolah dan institusi boleh saja membatasi dengan spesialisasi ilmu dan birokrasi nilai, seperti yang ada di sekolah-sekolah formal. Akan tetapi itu tidak akan "ngaruh" untuk seorang pembelajar. Hal ini sudah banyak saya temui di lapangan, betapa banyak teman saya dengan spesialisasi ilmu pada pendidikan formal, juga menguasai ilmu lain, bahkan dia lebih menguasai ilmu yang bukan spesialisasi bidangnya. Ada yang lebih dikenal "ustadznya", dibanding sarjana pertanian, atau tekniknya, ada yang dia lebih dikenal sebagai penulis dibandingkan keilmuannya di kimia.

Seorang pembelajar sejati berarti juga memahami, betapa waktu dan umur tidak akan pernah membatasinya untuk belajar. Seperti halnya jawaban Imam Hambali yang ditanya sampai kapan engkau akan menuntut ilmu? Dan beliau menjawab "beserta tinta akan ke liang kubur". Seperti juga dikatakan rasullullah, "Uthlubul 'ilmi minal mahdi ilal lahdi", tuntututlah ilmu itu dari ayunan hingga ke liang lahat.

Seorang pembelajar sejati memahami bahwa sepanjang hidupnya adalah laboratorium. Ketika bertemu dengan kegagalan dia yakin bahwa Allah mengirimkannya agar kesuksesan yang nanti diraihnya terasa lebih manis. Ketika kehilangan menjumpainya maka iapun yakin bahwa Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik. Ketika ia bekerja, maka sesungguhnya ia sedang belajar. Ketika ia ditimpa musibah, atau diberi kebahagiaan, maka pada hakekatnya ia sedang belajar.

Dan guru adalah seseorang atau sesuatu yang membantu mengajari kita dengan tepat dan benar. Mengapa tidak hanya seseorang? Tetapi juga sesuatu? Karena memang yang mengajarkan kita tidak hanya orang, tetapi juga alam, lingkungan dan kehidupan itu sendiri. Dan disini tidak ada batas lagi antara guru dan murid, siapa guru dan siapa murid, tetapi menyangkut apa hikmah sesuatu yang dipelajari itu. Seperti kucing yang mengajarkan persaudaraan, atau ayam yang lebih dahulu bangun di pagi hari. Dan itu memerlukan kejernihan hati untuk dapat mengambil cahaya ilmu itu.

Mari hidupkan "tradisi pembelajaran". Masih banyak yang belum kita ketahui, dari alam, lingkungan, kehidupan dan semua ayat-ayat Allah.

Karena Setiap Kita Adalah Mutiara

SMPIT Insan Mulia Surakarta
Mutiara. Awalnya ia bukan apa-apa. Hanya butiran pasir dan debu kotor yang tak ada harganya. Waktu yang kemudian membentuknya: detik demi detik, di kedalaman samudera, dalam kegelapan cangkang makhluk-Nya. Dengan proses yang demikian panjang dan pelan, penuh kesabaran. Pun kemudian, keindahannya juga tak dapat segera dinikmati begitu saja. Karena ia harus dijemput di kedalaman lautan, dikeluarkan dari rumahnya yang kokoh dan dibersihkan, disepuh dan diolah hingga menjadi perhiasan istimewa. Sungguh sebuah proses yang panjang dan melelahkan, bahkan bukan tidak mungkin terhenti di tengah jalan.

***

Mungkin engkau pernah merasa dirimu bukanlah apa-apa saat ini. Bahkan bisa jadi lebih dari itu, engkau membenci dirimu sendiri, sebagai manusia tak berguna, makhluk sia-sia. Begitu banyak kekurangan, begitu banyak kesalahan dan keburukan. Apalagi ketika kau melihat orang lain yang nampak begitu sempurna dan memiliki begitu banyak kelebihan, rasanya engkau makin ingin tenggelam. Mengapa orang lain memiliki begitu banyak kelebihan sedang aku tak memiliki apa-apa kecuali kekurangan? Mengapa aku buruk sedang orang lain cakep? Mengapa orang lain berhasil dan aku selalu gagal? Mengapa orang lain kaya dan aku miskin? Serta beribu 'mengapa' lainnya yang akan membuat kita kecewa dan terluka, serta terpaku pada kekurangan-kekurangan yang kita miliki.

Padahal, saya percaya, setiap kita tahu dan yakin, bahwa Allah tidak mungkin menciptakan makhlukNya hanya dengan kekurangan saja atau kelebihan saja. Hanya dengan madharat saja tanpa manfaat atau sebaliknya. Pun kita manusia, pastilah memiliki keduanya dalam porsi yang imbang. Dia yang maha kuasa membekali manusia dengan segala kelebihan, menjadikan setiap insan memiliki keistimewaan. Hanya saja proses hidup yang kita alami mungkin telah membuatnya hanya menjadi potensi terpendam, tak muncul ke permukaan, bahkan mungkin ia, sekalipun ia pernah muncul di masa kecil kita, kemudian terkubur oleh segala tekanan dan rintangan.

Padahal, ibarat mutiara, kita tak dapat menjadi berharga begitu saja. Kita butuh waktu untuk membentuknya. Kita butuh proses panjang untuk mendapatkan keindahannya. Dan proses ini, butuh ketelatenan dan kesabaran.

Ya, sesungguhnya setiap kita adalah mutiara yang memiliki pancaran keindahan kita masing-masing, seperti apapun adanya kita pada awalnya. Kita hanya harus menyepuhnya untuk membuatnya menjadi berharga. Dan proses menyepuh ini, banyak cara dan jalannya.

Rintangan, hambatan, pengalaman, pembelajaran, baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain, tidak akan menjadi masalah. Karena pada dasarnya kita adalah mutiara. Kita hanya harus berusaha semaksimal kita, membuka mata, buka telinga dan buka hati.

Hanya satu awal yang perlu kita lakukan: itikad dan keyakinan untuk menjadi mutiara. Sungguh saya ingin menjadi mutiara, melalui berbagi dan berbakti pada sesama. Engkau? Menjadi mutiara seperti apa yang engkau inginkan? (AR)

Seputih Melati

SMPIT Insan Mulia Surakarta
Melati tak pernah berdusta dengan apa yang ditampilkannya. Ia tak memiliki warna dibalik warna putihnya. Ia juga tak pernah menyimpan warna lain untuk berbagai keadaannya, apapun kondisinya, panas, hujan, terik ataupun badai yang datang ia tetap putih. Kemanapun dan dimanapun ditemukan, melati selalu putih. Putih, bersih, indah berseri di taman yang asri. Pada debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya. Pada angin ia menyapa, berharap sepoinya membawa serta debu-debu itu agar ianya tetap putih berseri. Karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa. Kekanan ia ikut, ke kiri iapun ikut. Namun ia tetap teguh pada pendiriannya, karena kemanapun ia mengikuti arah angin, ia akan segera kembali pada tangkainya.

Pada hujan ia menangis, agar tak terlihat matanya meneteskan air diantara ribuan air yang menghujani tubuhnya. Agar siapapun tak pernah melihatnya bersedih, karena saat hujan berhenti menyirami, bersamaan itu pula air dari sudut matanya yang bening itu tak lagi menetes. Sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan kan selalu datang, karena hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya. Bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya, untuk mengadu, saling menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran. Karena juga, hanya hujan yang selama ini berempati terhadap semua rasa dan asanya. Tetapi, pada hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang sejuk.

Pada tangkai ia bersandar, agar tetap meneguhkan kedudukannya, memeluk erat setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani kewajibannya, menserikan alam. Agar kelak, apapun cobaan yang datang, ia dengan sabar dan suka cita merasai, bahkan menikmatinya sebagai bagian dari cinta dan kasih Sang Pencipta. Bukankah tak ada cinta tanpa pengorbanan? Adakah kasih sayang tanpa cobaan?

Pada dedaunan ia berkaca, semoga tak merubah warna hijaunya. Karena dengan hijau daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap berwarna putih. Jika daun itu tak lagi hijau, atau luruh oleh waktu, kepada siapa ia harus meminta koreksi atas cela dan noda yang seringkali membuatnya tak lagi putih?

Pada bunga lain ia bersahabat. Bersama bahu membahu menserikan alam, tak ada persaingan, tak ada perlombaan menjadi yang tercantik, karena masing-masing memahami tugas dan peranannya. Tak pernah melati iri menjadi mawar, dahlia, anggrek atau lili, begitu juga sebaliknya. Tak terpikir melati berkeinginan menjadi merah, atau kuning, karena ia tahu semua fungsinya sebagai putih.

Pada matahari ia memohon, tetap berkunjung di setiap pagi mencurahkan sinarnya yang menghangatkan. Agar hangatnya membaluri setiap sel tubuh yang telah beku oleh pekatnya malam. Sinarnya yang menceriakan, bias hangatnya yang memecah kebekuan, seolah membuat melati merekah dan segar di setiap pagi. Terpaan sinar mentari, memantulkan cahaya kehidupan yang penuh gairah, pertanda melati siap mengarungi hidup, setidaknya untuk satu hari ini hingga menunggu mentari esok kembali bertandang.

Pada alam ia berbagi, menebar aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap jiwa yang bersamanya. Indah menghiasharumi semua taman yang disinggahinya, melati tak pernah terlupakan untuk disertakan. Atas nama cinta dan keridhoan Pemiliknya, ia senantiasa berharap tumbuhnya tunas-tunas melati baru, agar kelak meneruskan perannya sebagai bunga yang putih. Yang tetap berseri disemua suasana alam.

Pada unggas ia berteriak, terombang-ambing menghindari paruhnya agar tak segera pupus. Mencari selamat dari cakar-cakar yang merusak keindahannya, yang mungkin merobek layarnya dan juga menggores luka di putihnya.

Dan pada akhirnya, pada Sang Pemilik Alam ia meminta, agar dibimbing dan dilindungi selama ia diberikan kesempatan untuk melakoni setiap perannya. Agar dalam berperan menjadi putih, tetap diteguhkan pada warna aslinya, tidak membiarkan apapun merubah warnanya hingga masanya mempertanggungjawabkan semua waktu, peran, tugas dan tanggungjawabnya. Jika pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah, ia tetap sebagai melati, seputih melati. Dan orang memandangnya juga seperti melati.

Dan kepada melatiku, tetaplah menjadi melati di tamanku. Karena, aku akan menjadi angin, menjadi hujan, menjadi tangkai, menjadi matahari, menjadi daun dan alam semesta. Tetapi takkan pernah menjadi debu atau unggas yang hanya akan merusak keindahannya, lalu meninggalkan melati begitu saja

Tim Manajemen SMPIT Insan Mulia

  • Dr.Abdul Kharis,M.Si Dewan Pembina Yayasan
  • Ori Nako, SP,M.Pd.Ketua Yayasan
  • Ari Aji Astuti, M.PdBidang Pendidikan
  • Ratna Wijayanti, SH.Bidang Pendidikan
  • WahyudiKepala Sekolah
  • Ika Sunu, M.Pd.Kurikulum